Saat itu aku duduk di bangku 3 SMA. Ketika aku pertamakali melihatnya, dia yang cantik anggun dan begitu sempurna di mata para lelaki, entah kenapa aku tak menyukainya. Dia begitu angkuh dimataku. Sosok wanita tangguh yang tak kenal rasa belaskasih dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Aku tak pernah menyukainya. Tak ada hasratku untuk sekali saja memerhatikannya. Tapi hari itu, hujan dengan garangnya menghantam permukaan bumi yang gersang. Aku terjebak di halte itu, bersamanya. Dalam hati, ku kutuk hujan itu, mengapa begitu teganya ia mengurungku bersamanya?

Tak ingin aku memerhatikannya. Namun aku selalu tergoda untuk memandang kecantikan wajahnya.  Awalnya dia terlihat begitu tegar, dengan angkuhnya ia derdiri di ujung halte, entah apa yang ditunggunya. Satu jam berlalu, hujan tak kunjung reda. Ku perhatikan dia, lama kelamaan dia mulai runtuh juga, mungkin pegal atu lelah ataupun kedinginan. Ah entahlah aku tak memperdulikannya. Ia duduk bersimpuh, di tengah guyuran hujan yang mulai membasahinya. Ku mulai mendengar suara isak tangis. Ku cari asal suara itu. Aku tak percaya saat aku dapati ternyata dirinyalah yang menangis itu. Aku sangat tak percaya. Diluar, kepribadiannya begitu tangguh dan angkuh, tapi dalam waktu satu jam saja aku bersamanya dia runtuh di hadapanku. Ingin rasanya menertawakannya, tapi entah kenapa hatiku menolaknya. Dalam hatiku ingin sekali aku merangkulnya, tapi aku tak bisa. Lama kelamaan hatiku luruh juga.  Entah ada dorongan apa, kaki ku melangkah dengan ringanya kearahnya, ku buka jaketku, kuselimutkan padanya. Ia terus menangis, tangisan yang begitu menyakitkan.

“Kamu kenapa ra?” tengorokanku tercekat, dengan lancarnya kalimat itu meluncur dari pita suaraku. Tak ada jawaban, ia hanya terus menangis. Menangis dalam isakan yang menyakitkan. Kutanya sekali lagi. “ Kamu kenapa ra?” tapi ia tetap diam. Ia hanya terus menangis. Ku angkat wajahnya dengan paksa. Wajahnya terlihat begitu sendu, tapi begitu polos, matanya yang bening, dengan air mata yang terus mengalir. Ia menunduk lagi. Isakannya sedikit demi sedikit mulai berhenti. “Ra? Kamu punya masalah? Kalau kamu mau, cerita aja sama aku.” Dia diam. Suasana hening. Hujan mulai reda. “Aku anter kamu pulang ya? Yuk Ra, hujannya reda. Nanti kamu sakit.” Rayu ku. Aku tak begitu mengenalnya, tapi entah kenapa, rasanya aku telah mengenalnya lama. Aku antar dia pulang, satu hal yang tak aku lupakannya. Senyumnya, ia tersenyum padaku sebelum aku pulang. Senyumnya begitu indah.

Aku mulai bingung, apa yang aku lakukan tadi? Hal terbodoh yang aku lakukan sepanjang hidupku. Tapi wajahnya yang polos itu, senyumnya  yang indah itu, selalu menari-nari dalam pikiranku. Malam hari, tak bisa aku pejamkan mata, bayang-bayang senyumnya selalu berputar dalam pikiranku. “Tuhan.. apa artinya ini?  Inikah cinta? Bukan. Ini bukan cinta. Ini hanya.. hanya efek tadi siang. Kuyakinkan hatiku. Ini bukan cinta.” Tapi bayangan itu tak kunjung pergi, terus saja ada dalam bayanganku. Mengganggu pikiranku. hingga akhirnya aku tertidur, bayangan itu, bayangan itu terus mengikutiku masuk dalam mimpiku.

Esoknya, ku cari sosoknya. Sosok pemilik senyum indah yang selalu hadir dalam bayanganku. Kemana dia? Sampai saat ini, sampai jam menunjukan waktunya pulang. Aku masih belum menemukannya. Sampai setahun lamanya, sampai aku lulus dari sekolah ini, sosok itu tak pernah muncul lagi. Aku  begitu merindukannya. Sampai akhirnya aku menyadari, aku mencintainya. Entah darimana asalnya. Tapi perasaan ini begitu menyiksaku. 3 tahun menunggu, ia tak kunjung kembali, tak kunjung datang lagi.Ku putuskan pergi dari kampung halamanku. Pergi ke tanah orang demi mencari si pemilik senyum yang indah itu. Entah kemana tujuanku sebenarnya.

Sampai hari itu . Saat tak sengaja aku berjalan di taman, melepaskan kepenatanku hari ini, ku dapati seorang gadis termenung memandang langit berhias pelangi dan senja sore, gadis yang senyumnya begitu ku kenal. Ya, itu dia. Gadis pemilik senyum indah yang hilang 6 tahun lalu. Ku hampiri dia. Semakin langkahku  mendekat padanya. Jantungku bagaikan diburu ribuan ceetah yang mengejar seonggok daging.  Ku pegang pundaknya, “ mbak?” hanya kata itu yang sanggup ku ucapka. Ia berbalik. Tercengan. Mendapati diriku berada dibelakangnya. Ku kira ia akan lari meninggalkanku. Tapi tidak ia terlihat seperti bahagia melihatku disini. Dengan spontan ia memeluk ku erat. Rasanya kaget. Tapi aku begitu bahagia. Ku balas pelukannya. Ku peluk dia, erat.
“Mario… maafin aku… bukan maksudku meninggalkanmu tanpa kabar… tapi.. sudahlah lupakan. Mungkin kamu tak akan peduli, dan..” kuletakan telunjukku di bibirnya. “Ssst…. Aku gak peduli, yang penting aku menemukanmu, aku merindukanmu, kamu yang aku cari selama 6 tahun belakangan ini, aku hanya ingin membuat pengakuan ra, aku mencintaimu, sangat mencitaimu ra, percaya padaku, aku gak akan nyianyiain kamu, aku kan menyayangimu hingga akhir waktu menjemputku ra.” Ia tertawa “ gombal ah..” “ aku serius ra...” Ia tersenyum. “ Aku juga mencintaimu Ri..”
Sampai sekarang, aku masih mencintainya, mencintai dia. Dia sipemilik senyum indah yang tak pernah aku lupakan. “ Ri, jangan ngelamun terus dong, udah sampe ni… aku gak sabar ketemu ibu kamu”. Suara itu, membangunkanku dari lamunan panjangku. Ya dia. Pemilik senyum indah yang sekarang berada di sampingku. Aku berjanji, aku tak akan menyianyiakannya. Aku berjanji akan selalu menjaganya. Aku berjanji tak akan membiarkannya pergi. Pergi meninggalkankanku untuk keduakalinya. Aku sangat mencintainya